Hero Ramah
Menumbuhkan Sekolah yang Aman, Peduli, dan Berempati
Insight Vokasi

Menumbuhkan Sekolah yang Aman, Peduli, dan Berempati

Oleh: Arie Wibowo Khurniawan
55x dilihat
Menumbuhkan Sekolah yang Aman, Peduli, dan Berempati

Duka yang Menguatkan: Ketika Sekolah Diuji oleh Peristiwa Tak Terduga


Tragedi ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta Utara pada Jumat, 7 November 2025, sekitar pukul 12.15 WIB, mengguncang dunia pendidikan Indonesia. Ledakan itu mengakibatkan 50 murid mengalami luka-luka bakar. Namun, di balik duka mendalam tersebut, tersimpan pelajaran berharga tentang pentingnya membangun sistem keamanan, kepedulian, dan empati di lingkungan pendidikan. Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa sekolah bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga ruang pembentukan nilai-nilai kemanusiaan, solidaritas, serta kepedulian sosial.



Menurut teori Ecological System dari Urie Bronfenbrenner (1979), perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungan yang saling berhubungan. Sekolah menjadi bagian terdekat (mikrosistem) yang membentuk perilaku, emosi, dan karakter murid. Setiap dinamika yang terjadi di lingkungan sekolah akan memengaruhi emosional murid. Karena itu, menciptakan lingkungan yang aman dan berempati bukan sekadar tugas manajemen sekolah, melainkan tanggung jawab bersama antara guru, murid, orang tua, dan masyarakat.

Lingkungan belajar yang sehat dan aman akan menumbuhkan rasa percaya diri, meningkatkan kemampuan komunikasi, serta memperkuat karakter empatik. Tragedi ini menjadi momentum bagi dunia pendidikan untuk meninjau kembali bagaimana sekolah dapat berfungsi sebagai ruang tumbuh yang benar-benar manusiawi.

 


Membangun Lingkungan Aman dan Literasi Emosional di Sekolah


Rasa aman di sekolah tidak hanya mencakup aspek fisik, tetapi juga psikologis. Setiap siswa berhak merasa diterima, dihargai, dan terbebas dari tekanan sosial. Riset UNICEF Indonesia (2023) menunjukkan bahwa rasa aman dan hubungan sosial yang positif berkorelasi langsung dengan kebahagiaan serta prestasi akademik. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (2018) mencatat sekitar 1 dari 3 remaja laki-laki dan 1 dari 4 remaja perempuan usia 13–17 tahun pernah mengalami perundungan, dengan 41% kasus terjadi di sekolah. Selain itu, studi UNICEF dan Kominfo (2020) menemukan 40% anak dan remaja mengalami perundungan daring.




Membangun budaya empati harus dimulai dari hal sederhana: mendengarkan tanpa menghakimi, menghargai perbedaan, dan menolong teman yang membutuhkan. Guru dan tenaga pendidik perlu menjadi teladan dalam komunikasi empatik dan membangun sistem dukungan sosial yang kuat. Program bimbingan konseling sebaiknya dikembangkan sebagai safe space bagi siswa untuk berbagi perasaan dan menemukan solusi secara bersama..

Selain itu, sekolah perlu menanamkan literasi emosional sejak dini kemampuan mengenali, memahami, dan mengelola emosi diri serta orang lain. Melalui pendidikan karakter yang berbasis empati, siswa akan lebih siap menghadapi tekanan sosial, menghindari konflik, dan tumbuh menjadi individu yang tangguh serta peduli terhadap sesama.

 

Kolaborasi untuk Sekolah yang Tangguh dan Inklusif

Pemulihan pascatragedi tidak dapat dilakukan secara parsial. Diperlukan kolaborasi antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat. Sekolah dapat memperkuat sistem kesiapsiagaan darurat dengan melibatkan pelatihan evakuasi dan simulasi kebencanaan. Orang tua dapat berperan dengan menumbuhkan komunikasi terbuka di rumah, sementara masyarakat sekitar diharapkan ikut menjaga keamanan lingkungan sekolah.

Prinsip gotong royong nilai khas bangsa Indonesia menjadi kunci dalam membangun ketahanan komunitas pendidikan. Setiap tragedi, betapapun menyakitkan, dapat menjadi titik balik untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan. Pendidikan sejati tidak hanya bertujuan mencerdaskan otak, tetapi juga membentuk hati yang berbelas kasih.



Tragedi SMAN 72 Jakarta Utara adalah pengingat keras bahwa keamanan dan empati adalah dua sisi mata uang dalam dunia pendidikan. Dari peristiwa ini, lahirlah kesadaran baru bahwa setiap sekolah harus menjadi ruang yang aman, inklusif, dan penuh kasih. Dengan kolaborasi, kepedulian, dan kesadaran sosial, dunia pendidikan Indonesia dapat bangkit lebih kuat membangun generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga berempati, berani, dan berjiwa kemanusiaan.***(Penulis: Direktur Sekolah Menengah Kejuruan., Dr. Arie Wibowo Khurniawan, S.Si., M.Ak. )

Bagikan artikel ini