"Sebuah Tinjauan Kebijakan dan Mimpi Indonesia Emas"
Kebijakan, pada hakikatnya, bukanlah sekadar tumpukan dokumen di atas meja birokrasi. Ia adalah jembatan yang dibangun antara mimpi kolektif sebuah bangsa dan kenyataan yang dipijak oleh setiap warganya. Pelajaran ini terpatri dalam perjalanan panjang pendidikan SMK Indonesia, sebuah perjalanan yang menemukan cermin paling jujurnya di panggung global bernama WorldSkills.
Tahun 2005 menjadi titik awal perjalanan Indonesia di ajang WorldSkills. Lima siswa SMK dikirim ke Helsinki, bukan untuk mengejar medali, melainkan membawa pulang cerita dan pengalaman. Dunia internasional saat itu terasa seperti puncak gunung yang terlalu tinggi untuk didaki. Dua dekade berlalu, peta berubah. Indonesia kini berada di peringkat ke-11 dunia, juara umum ASEAN, dan menyaksikan Favian Ahza berdiri gagah di podium Lyon dengan medali emas di dadanya. Bendera Merah Putih berkibar, menjadi simbol bahwa kebijakan yang tepat dapat membuka jalan kemajuan, bukan hanya bagi individu, tetapi juga bangsa.
WorldSkills bukan sekadar kompetisi. Ia adalah ekosistem global yang menginspirasi generasi muda, menetapkan standar keterampilan, dan mendorong kebijakan pendidikan serta industri bergerak seirama dengan kebutuhan zaman.
Akar WorldSkills tertanam kuat dalam kebutuhan rekonstruksi ekonomi pasca-Perang Dunia II. Pada tahun 1946, Eropa menghadapi kehancuran ekonomi dan kekurangan tenaga kerja terampil yang parah, mengancam terjadinya depresi ekonomi baru. Menjawab tantangan ini, Francisco Albert Vidal dari Spanyol diberi tugas untuk menciptakan sebuah kontes keterampilan bagi pemuda Spanyol dan Portugal pada tahun 1950. Acara perdana di Madrid ini, meskipun berskala sederhana, menjadi cikal bakal lahirnya sebuah gerakan internasional.
Gerakan ini berkembang pesat. Pada tahun 1953, kompetisi telah menarik partisipasi dari Jerman, Inggris Raya, Prancis, Maroko, dan Swiss. Tonggak sejarah penting terjadi pada tahun 1958 ketika kompetisi untuk pertama kalinya diselenggarakan di luar Spanyol, yaitu di Brussels, Belgia, yang menandai dimulainya ekspansi global. Lompatan besar berikutnya terjadi pada tahun 1970, saat Tokyo menjadi tuan rumah, membawa kompetisi ke benua Asia dan menegaskan statusnya sebagai acara keterampilan vokasi internasional terbesar di dunia. Sejak saat itu, WorldSkills telah menjadi fenomena global, dengan negara-negara anggota yang kini mencapai 89 negara, menjangkau dua pertiga populasi dunia.
Filosofi inti WorldSkills terangkum dalam visinya, yaitu "Meningkatkan dunia kita dengan kekuatan keterampilan" (Improving our world with the power of skills), dan misinya, "Untuk meningkatkan profil dan pengakuan orang-orang terampil, dan menunjukkan betapa pentingnya keterampilan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi dan kesuksesan pribadi". Untuk mencapai tujuan luhur ini, WorldSkills tidak hanya bergantung pada kompetisi. Organisasi ini berdiri di atas empat pilar kegiatan utama: Kompetisi (Competitions), Konferensi (Conference), Proyek (Projects), dan Kampanye (Campaigns).
Struktur empat pilar ini menunjukkan sebuah strategi yang komprehensif. Kompetisi berfungsi sebagai ujung tombak untuk menginspirasi anak muda dan menarik perhatian media. Namun, pengaruh sesungguhnya terletak pada pilar-pilar lainnya. Konferensi WorldSkills, yang diadakan bersamaan dengan kompetisi, mengumpulkan para pembuat kebijakan, menteri pendidikan, dan pemimpin industri dari seluruh dunia untuk membahas masa depan Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan Kejuruan (TVET). Proyek-proyek seperti pengembangan dan adopsi standar keterampilan global serta kampanye kesadaran publik adalah mekanisme untuk menerjemahkan inspirasi dari arena kompetisi menjadi perubahan kebijakan yang nyata dan terukur. Dengan demikian, WorldSkills secara aktif memposisikan dirinya sebagai "pusat global untuk keunggulan dan pengembangan keterampilan" yang bertujuan memengaruhi pemerintah, industri, dan pendidik di seluruh dunia.
Pemerintah Indonesia telah meluncurkan serangkaian kebijakan ambisius untuk mentransformasi pendidikan vokasi, terutama melalui program "Revitalisasi SMK". Program ini, yang secara efektif dimulai pada tahun 2017 dan diperkuat oleh landasan hukum seperti Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2016 dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022, bertujuan untuk meningkatkan kualitas lulusan SMK dan mengurangi tingkat pengangguran terdidik.
Dalam konteks ini, WorldSkills memainkan peran yang sangat strategis sebagai tolok ukur (benchmark) eksternal. Keikutsertaan dalam kompetisi ini dimanfaatkan secara eksplisit oleh Kementerian sebagai sarana untuk "mengukur kualitas pembelajaran pendidikan vokasi di Indonesia". Standar kompetisi yang tinggi dan selaras dengan industri global memberikan cermin bagi pemerintah untuk mengevaluasi efektivitas program revitalisasi. Tujuan-tujuan utama revitalisasi—seperti peningkatan kompetensi guru, modernisasi sarana dan prasarana, serta penguatan kerjasama industri—adalah prasyarat mutlak untuk bisa bersaing dan berprestasi di WorldSkills.
Hubungan ini bersifat simbiosis. Di satu sisi, kebijakan revitalisasi SMK menciptakan kondisi yang memungkinkan talenta-talenta Indonesia untuk berprestasi. Di sisi lain, setiap kemenangan atau peningkatan peringkat di WorldSkills menjadi bukti nyata dan justifikasi politik bahwa program revitalisasi berada di "jalur yang benar". Prestasi di arena global memberikan legitimasi pada kebijakan domestik, memvalidasi investasi yang telah dikeluarkan, dan dapat membantu mengamankan dukungan politik serta anggaran untuk program-program selanjutnya.